INDOBORNEO NEWS, SAMPIT – Sebuah sidak mendadak oleh Gubernur Kalimantan Tengah, Agustiar Sabran, pada Rabu malam, 4 Juni 2025, pukul 19.30 WIB, di wilayah Sampit, telah menyisakan dilema pahit bagi para sopir truk. Di satu sisi, langkah pemerintah ini bertujuan mulia: melindungi proyek strategis provinsi, Jalan Lingkar Selatan, yang dianggarkan Rp28 miliar dari kerusakan akibat muatan berlebih.
Namun di sisi lain, kebijakan ini menghimpit para sopir dalam pilihan sulit: bekerja dengan risiko ditilang, atau menganggur dan tak bisa makan.
Dalam sidak tersebut, Gubernur Agustiar Sabran, didampingi Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) Halikinnor, Kapolres Kotim, jajaran Dinas Perhubungan, Satlantas Kotim, serta PJR Polda Kalteng, menghentikan sebuah truk CPO jenis Hino FE 260 yang diduga membawa muatan 17 ton, melebihi batas yang diizinkan.
“Sampaikan kepada direktur perusahaan, kalau tidak datang, truk akan kami tahan,” tegas Gubernur. Truk tersebut kemudian dibawa ke kantor Dinas Perhubungan untuk ditahan.
Gubernur juga menegaskan bahwa perusahaan yang melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat diancam denda Rp50 juta dan kurungan penjara satu tahun. “Jangan sampai proyek jalan lingkar selatan ini rusak gara-gara truk bermuatan tinggi. Ini milik kita bersama, harus kita jaga dan pelihara,” ujarnya.
Dua Perlakuan, Satu Dilema: Antara CPO dan Tiang PLN Setelah menindak truk CPO, Gubernur Agustiar Sabran lalu melanjutkan perjalanannya menuju Pangkalanbun.
Namun, saat berada di Jalan Sampit – Pangkalan Bun, tim PJR Polda yang mengawal kembali menghentikan sebuah truk Fuso dari Semarang yang membawa pengadaan tiang listrik PLN melalui APBN untuk Desa Antang Kalang. Menariknya, truk ini diizinkan melanjutkan perjalanan, tidak ditahan seperti truk CPO sebelumnya.
Perlakuan yang berbeda ini memunculkan pertanyaan di benak para sopir.
Keluh kesah ini disampaikan salah satu sopir kepada awak media, berharap suaranya didengar pemerintah. “Memang bagus penertiban tersebut. Tapi nasib kami sebagai sopir truk merasa takut. Kalau tidak kerja, tidak bisa makan. Kalau kerja, pasti ditilang. Semoga Pak Gubernur memikirkan juga kepada kami para sopir,” ujarnya.
Pernyataan ini mencerminkan realita pahit di lapangan. Para sopir truk, yang menjadi roda penggerak ekonomi dengan mengangkut barang, merasa terjepit di antara ketegasan regulasi dan tuntutan perut keluarga.
Penertiban muatan berlebih memang esensial untuk menjaga kualitas jalan dan mengurangi risiko kecelakaan. Namun, tanpa solusi komprehensif yang turut mempertimbangkan keberlanjutan mata pencarian para sopir dan perusahaan angkutan, penegakan hukum bisa jadi bumerang yang mematikan denyut ekonomi.
Bagaimana pemerintah dapat menyeimbangkan antara penegakan aturan yang tegas dengan kebutuhan dasar dan keberlangsungan usaha para sopir truk? Ini adalah pertanyaan krusial yang menanti jawaban dari pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, serta harapan para sopir untuk menemukan solusi atas dilema yang mereka hadapi.
Jurnalis; Anjar
Redaksi//