SAMPIT.Indoborneonews.com — Rentetan bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatra Barat, Sumatra Utara, hingga Aceh pada akhir November 2025 menjadi sinyal bahaya bagi Kalimantan Tengah. Ribuan rumah hancur, ratusan jiwa meninggal dunia, dan puluhan ribu warga mengungsi akibat curah hujan ekstrem yang diperparah kerusakan hutan.
Peringatan ini langsung mendapat sorotan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kotawaringin Timur (Kotim). Ketua AMAN Kotim, Hardi P Hady, menegaskan bahwa tragedi di Sumatra adalah gambaran nyata betapa rentannya daerah ketika deforestasi dibiarkan meluas
“Bencana di Sumatra harusnya jadi alarm bagi semua daerah, termasuk Kotim. Jangan tunggu bencana datang baru kita bergerak,” kata Hardi, Sabtu (6/12/2025).
Hardi menyebut pihaknya menerima laporan dan bukti visual terkait pembukaan lahan sawit berskala besar di Kecamatan Antang Kalang. Foto dan video yang dikirimkan warga memperlihatkan alat berat melakukan penebangan di kawasan yang disebut sebagai wilayah kelola masyarakat adat.
Pada Rabu (3/12/2025), warga Desa Tumbang Kalang kembali mengirimkan video aktivitas tersebut. Hardi menilai praktik itu bertentangan dengan komitmen negara untuk menekan deforestasi dan justru memperbesar risiko bencana ekologis di Kotim.
“Kerusakan hutan makin parah. Kalau pembukaan lahan tidak dikendalikan, Kotim bisa alami bencana serupa Sumatra,” ujarnya.
AMAN Kotim juga menyoroti konflik berlarut mengenai plasma yang tak kunjung diberikan oleh PT BUM, perusahaan yang disebut telah mengelola sekitar 29.000 hektare lahan melalui tiga HGU sejak 1998. Menurut Hardi, hingga kini sejengkal pun plasma tidak pernah diterima masyarakat adat.
“Masyarakat adat hanya jadi penonton di tanah sendiri. Sementara warga transmigrasi sekitar justru hidup sejahtera karena plasma dari perusahaan lain,” ungkapnya.
Ia menyebut ketidakadilan ini bisa memicu konflik sosial jika pemerintah daerah terus membiarkannya.
Hardi mengungkap perusahaan tersebut kini memperluas areal garapan melalui anak usahanya, PT BSL (Bintang Sakti Lenggana), di bawah NT Corp. Padahal, perusahaan ini dikabarkan pernah kehilangan izin pada 2022.
Yang dikhawatirkan AMAN Kotim adalah potensi penyerobotan lahan TORA, padahal wilayah itu seharusnya menjadi hak masyarakat.
AMAN Kotim menegaskan tidak menutup ruang dialog, tetapi meminta pemerintah daerah segera bersikap tegas. Jika tak ada langkah nyata, mereka menyiapkan aksi lanjutan.
“Kalau Pemda tidak berani menekan perusahaan untuk realisasi plasma sesuai aturan, kami siap aksi lagi. Bisa di kantor Pemda, rumah jabatan bupati, bahkan langsung di areal perusahaan, Tunggu tanggal mainnya,” ancam Hardi.
Selain Antang Kalang, AMAN Kotim juga mengaku menerima laporan aktivitas penebangan di eks konsesi HPH PT Kayu Mas Timber di Telaga Antang dan Bukit Santuai.
Hardi menekankan bahwa peristiwa di Sumatra tidak boleh dilihat sebagai kejadian jauh, melainkan cermin nyata bagi Kotim yang hutan alaminya terus terdesak.
“Sumatra telah terjadi musibah, Kotim jangan ikut menyusul. Stop deforestasi sebelum bencana datang,” pungkasnya.












