Daerah  

Buku di Tangan, Nyawa di Ujung Sampan

Indoborneonews,Singkil – Di Desa Serasah, Simpang Kanan, Aceh Singkil, Provinsi Aceh, anak-anak kecil berangkat sekolah dengan keberanian besar. Setiap hari, buku di tangan dan dalam tas mereka seakan jadi perisai menghadapi arus sungai.

Tidak ada jembatan yang menghubungkan Desa Serasah dengan Desa Cibubukan, lokasi sekolah dasar terdekat. Jalan satu-satunya adalah menyebrangi sungai sepanjang 50 hingga 100 meter menggunakan sampan kayu sederhana.

Arus sungai yang deras kerap membuat orang dewasa pun ragu untuk menyeberanginya. Namun, anak-anak ini melangkah dengan hati riang, meski nyawa mereka selalu dipertaruhkan.

Di antara deras air, ancaman lain selalu mengintai. Sungai itu juga menjadi habitat buaya air tawar yang menambah resiko perjalanan menuju sekolah.

Adi, seorang warga Desa Serasah, hanya bisa pasrah melihat perjuangan anak-anak. Dengan wajah lelah, ia berkata pendidikan dan keselamatan sama pentingnya, meski tak selalu seimbang.

“Nyawa penting, pendidikan pun butuh. Kami hanya bisa berdoa, semoga keselamatan anak-anak kami selalu terjaga,” ucapnya penuh harap, Jumat (12/9/2025).

Bagi warga Serasah, sampan bukan hanya alat transportasi anak sekolah. Sungai juga jalur utama untuk membawa hasil tani, perkebunan, bahkan akses menuju layanan kesehatan.

Ketika ada warga sakit, sampan sederhana inilah satu-satunya sarana menuju Puskesmas atau rumah sakit. Sungai yang deras berubah jadi rintangan hidup, bukan hanya sekadar lintasan.

Harapan besar sempat tumbuh di hati warga. Pada Februari 2023, jembatan gantung akhirnya berdiri berkat dukungan Telkom Indonesia, KIBARKANASA, PMI, dan masyarakat setempat.

Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Hujan deras pada Mei 2023 menghancurkan jembatan gantung yang baru saja menjadi jalan mimpi.

Kini, warga kembali ke situasi lama. Sampan sederhana kembali jadi jembatan rapuh, mengantar anak-anak sekolah dengan doa di setiap kayuhan.

Anak-anak Desa Serasah masih berpegang pada keyakinan bahwa pendidikan dapat mengubah nasib. Setiap hari, mereka menaiki sampan dengan semangat, membawa buku di tangan, meski nyawa di ujung sampan.

Sumber Kbrn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *