Prianto Buka Suara: Dugaan Rekayasa Hukum dan Intimidasi di Balik Laporan PT. NPR

Palangka Raya, Indoborneo News — Prianto, seorang warga Desa Karendan, Kecamatan Lahei, Barito Utara, mengungkapkan kekecewaannya terkait laporan dari PT. Nusa Persada Resources (NPR) yang menuduhnya melakukan pendudukan hutan tanpa izin.

Pernyataan ini disampaikan Prianto kepada awak media Jurnal Polisi di Polres Barito Utara pada Kamis, 21 Agustus 2025. Prianto menduga bahwa laporan tersebut adalah bentuk rekayasa hukum dan intimidasi yang bertujuan untuk menutupi dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PT. NPR terkait pemberian tali asih di area seluas 140 Ha dan 190 Ha, yang menurutnya merugikan dirinya dan masyarakat.

“Pasal 78 Ayat 3 Jo 50 Ayat 2 yang dituduhkan kepada saya, saya yakini sebagai rekayasa hukum dan bentuk intimidasi. Ini dilakukan untuk menutupi pelanggaran PT. NPR dalam proses pemberian tali asih yang tidak transparan di area 190 Ha, yang mengakibatkan kerugian bagi saya dan masyarakat hingga mencapai Rp 5,1 Miliar,” tegas Prianto.

Lebih lanjut, Prianto menuding PT. NPR, bersama dengan beberapa individu seperti Arif Subhan, Hirung, Agustinus, dan Mukti Ali (Kepala Desa Muara Pari), sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penyerobotan tanah kelola ladang berpindah miliknya dan warga Karendan. Ia menduga bahwa Mukti Ali menggunakan surat kelompok tani fiktif dan mengklaim batas desa tanpa dasar hukum yang kuat.

Prianto menyampaikan harapan kepada sejumlah pihak, termasuk:

1. Presiden RI
2. Kejaksaan Agung RI
3. KPK RI
4. Komnas HAM RI
5. DPR RI
6. Kepala Kepolisian RI
7. Gubernur Kalimantan Tengah
8. DPR Provinsi Kalimantan Tengah
9. Kapolda Kalimantan Tengah
10. Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah
11. Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah
12. PJ Bupati Barito Utara
13. Kejaksaan Negeri Barito Utara
14. Pengadilan Negeri Barito Utara
15. Ketua DAD Kalimantan Tengah

agar dapat mengusut tuntas oknum Kepala Desa Muara Pari dan mengungkap pihak-pihak lain yang terlibat, termasuk oknum perusahaan dan aparat yang diduga menerima suap terkait dugaan pelanggaran, penggelapan, dan penyerobotan tanah kelola miliknya dan masyarakat Desa Karendan yang saat ini dikuasai oleh PT. NPR.

“Pondok dan hak kelola kami sudah ada jauh sebelum kegiatan PT. NPR. Hak kelola tersebut masih sah milik saya dan masyarakat, dan telah diverifikasi oleh tim yang terdiri dari Camat Lahei, Kapolsek Lahei, Koramil Lahei, Damang Lahei, Kades Karendan, Ketua DAT Desa Karendan, Ketua BPD Desa Karendan, Ketua RT Desa Karendan, serta tokoh masyarakat terkait,” jelas Prianto.

Menurut Prianto, hasil verifikasi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hak kelola yang dimiliki oleh Kepala Desa Muara Pari maupun kelompok tani dari Desa Pari, sehingga tindakan Kepala Desa Pari sangat merugikan dirinya dan masyarakat Desa Karendan.

Prianto berharap agar kasus ini segera diusut tuntas dan keadilan dapat ditegakkan bagi dirinya dan masyarakat yang merasa dirugikan.

Di tempat terpisah, Kapolres Barito Utara, AKBP Singgih Febiyanto, saat ditemui awak media Jurnal Polisi pada Kamis, 21 Agustus 2025, menyatakan, “Kami dari Polres Barito Utara sangat memahami keresahan masyarakat terkait permasalahan lahan yang terjadi, termasuk yang dialami oleh Bapak Prianto. Kami berkomitmen untuk menindaklanjuti setiap laporan yang masuk sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.”

“Kami mengimbau kepada semua pihak, baik masyarakat maupun perusahaan, untuk mengedepankan musyawarah dan komunikasi yang baik dalam menyelesaikan sengketa lahan. Kami siap memfasilitasi mediasi melalui perangkat desa, kecamatan, maupun Polsek.”

“Namun, kami juga menegaskan bahwa segala tindakan harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Kami tidak akan mentolerir segala bentuk tindakan main hakim sendiri atau aksi-aksi yang melanggar hukum. Kami akan bertindak tegas terhadap siapa pun yang terbukti melakukan pelanggaran, termasuk jika ada indikasi rekayasa hukum atau intimidasi seperti yang disampaikan oleh Bapak Prianto,” tegasnya.

Kapolres mengajak seluruh masyarakat Barito Utara untuk bersama-sama menjaga situasi kamtibmas yang kondusif dan mempercayakan penanganan masalah ini kepada pihak kepolisian.

Kasat Reskrim Polres Barito Utara, Iptu Ricky Hermawan, ketika ditemui oleh awak media ini pada Jumat, 22 Agustus 2025, di Palangka Raya, menjelaskan mengenai proses penetapan tersangka.

“Untuk menetapkan tersangka, harus ada minimal dua alat bukti yang cukup. Jika itu terpenuhi, penyidik akan melakukan proses lebih lanjut, termasuk gelar perkara dan penetapan tersangka. Penahanan akan dipertimbangkan berdasarkan KUHAP, dengan mempertimbangkan faktor seperti potensi melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana,” ujarnya.

Iptu Ricky menambahkan, “Dalam kasus ini, kami menilai terdapat dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka. Sempat ada permohonan penangguhan, namun setelah gelar perkara, belum bisa ditangguhkan.”

Mengenai upaya mediasi, Kasat Reskrim menjelaskan bahwa perdamaian yang diformalkan dalam penyidikan dapat melalui proses restorative justice.

“Dasar utamanya adalah perdamaian. Setelah ada perdamaian, kasusnya akan ditimbang dan diajukan kepada pimpinan untuk disetujui penyelesaian melalui restorative justice. Itu juga sudah saya edukasikan kepada masing-masing pihak terutama pihak tersangka dan keluarganya, maka dicoba pada waktu itu saya berikan ruang.

Berusaha sendiri silahkan minta dibantu untuk bertemu juga kita sudah berikan kesempatan. Dan hasilnya seperti apa, saya belum monitor lagi perkembangan pembicaraan pelapor dan tersangka ini seperti apa, saya belum monitor lagi, mungkin sedang berproses. Karena kemarin sempat saya persilahkan bertemu terutama di kantor, berikutnya mau ada pertemuan lagi atau gimana ya silahkan. Karena memang kan tidak bisa dipaksakan perdamaian itu apalagi kami dipihak yang harus netral,” pungkasnya.

Sumber : Jurnal Polisi
Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *