Indoborneonews, Pekanbaru – Suara sorakan menggema di sepanjang tepian Sungai Kuantan. Ribuan pasang mata tertuju pada perahu panjang yang melesat membelah arus sungai.
Perahu melaju kencang, di dayung puluhan pria berpakaian seragam dengan ritme yang memukau dan seirama. Di ujung kapal, anak ‘Coki’ atau tukang tari, menari mengikuti gerakan pendayung dan laju perahu.
Inilah Pacu Jalur, warisan budaya masyarakat Kuantan Singingi, Riau. Pacur Jalur tak hanya sekadar lomba perahu, tetapi juga cerminan dari identitas, semangat gotong royong, dan kebanggaan kolektif.
Pacu Jalur, yang secara harfiah “balapan jalur (perahu panjang),” telah menjadi denyut nadi masyarakat Kuansing lebih dari satu abad. Tradisi ini pertama kali muncul pada awal abad ke-20, diperkirakan sejak 1901.
Pacu Jalur bagian dari perayaan hari-hari besar Islam dan penyambutan tamu kehormatan pemerintah kolonial Belanda. Kini, Pacu Jalur berkembang menjadi festival tahunan bertaraf nasional, digelar setiap Agustus dalam rangka memeriahkan Hari Kemerdekaan RI.
Panjang perahu bisa mencapai 30-40 meter, terbuat dari batang pohon besar yang dilubangi dan diukir dengan motif-motif Melayu. Satu jalur dapat ditumpangi lebih dari 40 orang.
Mereka terdiri dari tukang pacu, tukang timbo, tukang onjai (pemberi semangat), dan tukang langkap (penjaga keseimbangan). Seluruh awak harus kompak dan harmonis, karena sedikit kesalahan ritme bisa membuat jalur terbalik atau kehilangan kecepatan.
“Satu jalur itu dibangun gotong royong oleh satu desa, mereka latihannya berbulan-bulan. Ini bukan soal menang atau kalah saja, tapi soal harga diri kampung,” ujar tokoh masyarakat dari Desa Pulau Godang, Arwan, kepada RRI.
Festival Pacu Jalur bukan hanya ajang budaya, tapi juga menjadi penggerak ekonomi lokal. Hotel-hotel di Teluk Kuantan selalu penuh, pedagang kaki lima ramai, dan produk UMKM lokal laris manis dibeli pengunjung yang datang.
“Setiap tahun, saya bisa dapat tiga kali lipat dari biasanya kalau musim pacu jalur. Orang ramai beli batik Kuansing, kuliner khas seperti gulai asam durian,” kata Yuni, pedagang suvenir di sekitar Lapangan Limuno.
Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi pun terus memperkuat branding Pacu Jalur sebagai destinasi wisata budaya unggulan. Bahkan, Pacu Jalur telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak benda Indonesia oleh Kemendikbudristek RI.
Di tengah gempuran modernisasi dan pergeseran nilai-nilai generasi muda, tantangan pelestarian Pacu Jalur bukan perkara mudah. Beberapa desa mengaku kesulitan mencari generasi penerus yang mau menjadi awak jalur.
Dibutuhkan peran aktif dari sekolah, keluarga, dan pemerintah untuk menanamkan kecintaan terhadap budaya sendiri. “Tapi kami terus kenalkan tradisi ini lewat ekstrakurikuler dan lomba cerita rakyat tentang pacu jalur,” ujar Bu Rina, guru SD Negeri 04 Teluk Kuantan.
Sumber kbrn