Indoborneonews,Jakarta – Senja belum sepenuhnya turun saat pelataran Tugu Proklamasi mulai dipenuhi langkah-langkah tenang. Jumat itu, 1 Agustus 2025, angin berembus lembut, menyapu pepohonan tua yang berdiri diam di tengah kota.
Dari berbagai penjuru Jakarta, orang-orang datang, namun tak tergesa. Ada yang datang bersarung dan berbaju koko.
Sebagian lagi memakai gamis, kalung salib, atau membawa dupa di tangan. Mereka berjalan menuju tempat yang sama, membawa maksud yang serupa: berdoa untuk Indonesia.
Pelataran beralas tikar menjadi tempat berkumpul. Tak ada pembatas, tak ada jarak. Hati-hati yang berbeda bersatu dalam hening, duduk bersebelahan, saling memberi ruang dalam kesunyian yang khidmat.
Tanpa pengeras suara yang membahana, suasana tetap mengalun. Suara doa berganti-ganti dengan tertib dan hormat, dari enam agama yang diakui negara.
Zikir Islam membuka. Lalu disusul doa Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, hingga Konghucu, tak satu pun ditinggalkan.
Setiap pemuka agama berdiri dengan sikap tenang, mereka mengangkat tangan, memejamkan mata, melafazkan harap dalam bahasa masing-masing. Namun, semua tertuju pada satu hal: keselamatan bangsa.
Seolah waktu ikut berhenti, suara kendaraan dari Jalan Proklamasi perlahan memudar, menyisakan sunyi yang meresap. Khusyuk tumbuh seperti udara. Hening terasa seperti gema.
Di tengah suasana itu, Ra’is Aam PBNU KH Miftahul Akhyar memimpin dzikir. Lantunan “Shalallahu ‘ala Muhammad” mengalir panjang, merambat naik ke langit malam.
Tak terdengar berat, tapi cukup kuat untuk membuat mata yang mendengarnya ikut terpejam. Tampak di barisan umat, Menteri Agama Nasarudin Umar dan Wakil Menteri Sekretaris Negara Juri Ardiantoro hadir.
Mereka tak duduk di kursi kehormatan, tetapi membaur di antara para peserta, tanpa batas protokol. Tak satu pun bicara soal panggung, jabatan, atau dominasi.
Semua hadir dengan kesadaran yang sama: menjaga damai Indonesia. Sebentuk niat sederhana yang terasa begitu kuat.
Aida Maqbulah, seorang dosen dari Institut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta, datang bersama suaminya. Di tangannya tergenggam sajadah, di hatinya tertanam harapan.
“Damai itu mahal. Tapi bisa dijaga bersama,” katanya sambil tersenyum kecil.
Baginya, keberagaman adalah fakta yang tak bisa dibantah. Namun, ia percaya, keharmonisan adalah pilihan.
“Kita ini beragam. Tapi Indonesia cuma satu,” ucapnya mantap.
Di sisi lain pelataran, Priska Wasini, seorang jemaat Katolik, tampak terdiam. Pandangannya lurus ke depan, ke arah altar umat Buddha yang sedang memanjatkan pujian.
Ia tak berkata banyak, hanya membisikkan harap. “Semoga Indonesia makin kuat dan toleran,” katanya lirih.
Di matanya, doa bukan sekadar ritual. Tapi kekuatan yang menyatukan batin yang berbeda dalam satu tujuan.
Meski Presiden Prabowo tak hadir, tak satu pun kehilangan semangat. Kebersamaan umat adalah pesan paling utuh.
Bahwa persatuan tak harus dimulai dari atas, bisa tumbuh dari bawah, dari umat sendiri. Setelah zikir ditutup, pemuka lima agama lain naik satu per satu, tak ada rebutan, tak ada suara yang memaksa.
Semua datang dengan tenang, dan pergi meninggalkan keheningan. Tahun ini, Doa Kebangsaan memang terasa istimewa. Lokasinya bukan lagi di sekitar istana negara seperti biasa.
Berpindah ke jantung sejarah republik—Tugu Proklamasi. Di sinilah proklamasi kemerdekaan dulu disuarakan.
Kini, suara-suara yang lain turut menyusul, doa dari enam arah iman bertemu di satu tempat. Menjadi harmoni baru bagi Indonesia yang ingin terus damai.
Di altar sejarah itu, gema nurani menyatu, menyuarakan harapan, bahwa meski berbeda keyakinan, bangsa ini tetap satu tujuan. Tetap satu tanah, satu air, dan satu Indonesia
Sumber kbrn